Penulis: Al-Ustadz Yazid bin Abdul
Qadir Jawas
Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang telah
menyempurnakan agama Islam untuk hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan
Sunnah Rasul-Nya sebagai sebaik-baik petunjuk yang diikuti. Semoga shalawat
serta salam tercurah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga,
dan para Shahabatnya.
Allah
Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama Islam bagi umatnya; menyempurnakan
nikmat-Nya bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mewafatkan Nabi-Nya
Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali setelah beliau selesai menyampaikan
segala sesuatu yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dengan jelas, baik berupa
perkataan maupun perbuatan; juga setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjelaskan bahwa setiap hal baru yang diada-adakan oleh manusia dan disandarkan
kepada agama Islam, baik berupa i’tiqâd (keyakinan), perkataan maupun perbuatan
semua itu adalah bid’ah dan tertolak, walaupun maksudnya baik. Semua ini karena
bid’ah merupakan penambahan terhadap ajaran agama dan mensyari’atkan sesuatu
yang tidak diizinkan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta merupakan tasyabbuh
(penyerupaan) dengan musuh-musuh Allah Azza wa Jalla dari golongan Yahudi dan
Nasrani. Selain itu, melakukan bid’ah berarti pelecehan terhadap agama Islam
dan menganggapnya tidak sempurna. Keyakinan ini mengandung kerusakan yang besar
dan bertentangan dengan firman Allah Azza wa jalla dan sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang memperingatkan terhadap bid’ah.
Mengada-ada
hal baru dalam agama, seperti peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, berarti beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala belum
menyempurnakan agama-Nya bagi umat ini, atau beranggapan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam belum menyampaikan segala sesuatu yang mesti dikerjakan
umatnya. Tidak diragukan lagi, anggapan seperti ini mengandung bahaya besar
lantaran menentang Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Karena Allah Azza wa
Jalla telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Nabi
paling mulia dan terakhir. Nabi yang paling sempurna penyampaian dan
ketulusannya. Seandainya Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
itu benar-benar termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla,
niscaya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkannya kepada
umatnya; Atau paling tidak, pasti telah dikerjakan oleh para Shahabatnya.
Tetapi, semua itu tidak terjadi. Dengan demikian, jelaslah hal itu bukan bagian
dari ajaran Islam dan termasuk perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan termasuk
tasyabbuh (menyerupai) Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam hari-hari besar
mereka
Diantara
hal aneh dan mengherankan ialah banyak orang yang giat dan bersemangat
menghadiri acara-acara yang bid’ah, bahkan membelanya, sementara mereka
meninggalkan kewajiban-kewajiban yang Allah Azza wa Jalla syari’atkan seperti
shalat wajib, shalat Jum’at, dan shalat berjama’ah bahkan sebagian mereka
terbiasa dengan perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar. Mereka sadar bahwa
mereka telah melakukan kemungkaran yang besar. Ini semua dikarenakan oleh
lemahnya iman, dangkalnya pemikiran, serta banyaknya noda yang mengotori hati.
Lebih
aneh lagi, sebagian pendukung maulid mengklaim bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam datang menghadiri acara tersebut. Karena itu, mereka berdiri
untuk menghormati dan menyambutnya. Ini merupakan kebatilan yang paling besar
dan kebodohan yang amat buruk. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak akan bangkit dari kuburnya sebelum hari Kiamat, tidak berkomunikasi
dengan seorang manusia pun, dan tidak menghadiri pertemuan-pertemuan umatnya
sama sekali.
Mencintai
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah dengan menyelenggarakan
acara-acara perayaan maulid semacam itu, akan tetapi dengan mentaati perintahnya,
membenarkan semua yang dikabarkannya, menjauhi segala yang dilarang dan
diperingatkannya, dan tidak beribadah kepada Allah Azza wa Jalla kecuali dengan
yang beliau syari’atkan.
A.
ORANG YANG PERTAMA KALI MENGADAKAN MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah yang mungkar. Kelompok yang pertama kali mengadakannya adalah Bani ‘Ubaid al-Qaddah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah pada abad ke- 4 Hijriyah. Mereka menisbatkan diri kepada putra ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan. Nenek moyang mereka adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah seorang pendiri aliran Bathiniyah di Irak.[1]
Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah yang mungkar. Kelompok yang pertama kali mengadakannya adalah Bani ‘Ubaid al-Qaddah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah pada abad ke- 4 Hijriyah. Mereka menisbatkan diri kepada putra ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan. Nenek moyang mereka adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah seorang pendiri aliran Bathiniyah di Irak.[1]
Para
ulama ummat, para pemimpin, dan para pembesarnya bersaksi bahwa mereka adalah
orang-orang munafik zindiq, yang menampakkan Islam dan menyembunyikan
kekafiran. Bila ada orang yang bersaksi bahwa mereka orang-orang beriman,
berarti dia bersaksi atas sesuatu yang tidak diketahuinya, karena tidak ada
sesuatu pun yang menunjukkan keimanan mereka, sebaliknya banyak hal yang
menunjukkan atas kemunafikan dan kezindikan mereka.[2]
B.
BEBERAPA ALASAN DILARANGNYA MEMPERINGATI MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA
SALLAM
Para ulama dahulu dan sekarang telah menjelaskan kebathilan bid’ah memperingati Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan membantah para pendukungnya. Memperingati Maulid (kelahiran) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah bid’ah dan haram berdasarkan alasan-alasan berikut:
Para ulama dahulu dan sekarang telah menjelaskan kebathilan bid’ah memperingati Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan membantah para pendukungnya. Memperingati Maulid (kelahiran) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah bid’ah dan haram berdasarkan alasan-alasan berikut:
Pertama:
Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah yang
dibuat-buat dalam agama ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menurunkan
keterangan sedikit pun dan ilmu tentang itu. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak pernah mensyariatkannya baik melalui lisan, perbuatan maupun ketetapan
beliau. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ
وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“…Apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah...” [al-Hasyr/59:7]
Juga
berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ
وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah Azza wa Jalla dan (kedatangan) hari Kiamat
dan dia banyak mengingat Allah Azza wa Jalla.” [al-Ahzâb/33: 21]
Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هَذَا
مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa
yang mengadakan suatu yang baru yang tidak ada dalam urusan agama kami, maka
amalan itu tertolak".
Dalam
riwayat Imam Muslim, “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas
dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak".
Kedua:
Khulafa-ur Rasyidîn dan para Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
lainnya tidak pernah mengadakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan tidak pernah mengajak untuk melakukannya. Padahal mereka adalah
sebaik-baik umat ini setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
...فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَـفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ،
تَـمَسَّكُوْا بِـهَـا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ
وَمُـحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
”…Maka
wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâ-ur
Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan
gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama),
karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah
kesesatan.” [3]
Peringatan
maulid tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para
Shahabatnya. Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah lebih dahulu
melakukannya. al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ahlus Sunnah wal
Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada dasarnya
dari Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah. Karena bila hal
itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita. Sebab
mereka tidak pernah mengabaikan satu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih
dahulu melaksanakannya.”[4]
Ketiga:
Peringatan hari kelahiran (ulang tahun/maulid) adalah kebiasaan orang-orang
sesat dan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Karena yang pertama kali
menciptakan kebiasaan tersebut adalah para penguasa generasi Fathimiyah
Ubaidiyah, sebagaimana keterangan diatas. Mereka sebenarnya berasal dari
kalangan Yahudi, bahkan ada pendapat mereka berasal dari kalangan Majusi. Bisa
jadi, mereka adalah orang-orang Atheis.[5]
Orang
yang pertama menciptakannya adalah al-Mu’iz Lidînillah al-‘Ubaidi al-Maghribi
yang keluar dari Maroko menuju Mesir pada bulan Ramadhan tahun 362 H.[6]
Apakah
layak bagi orang Muslim berakal untuk mengikuti Rafidhah dan mengikuti
kebiasaan mereka serta menyelisihi petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam ?
Keempat.:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ
دِينًا
“…Pada
hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan
nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…” [al-Mâ-idah/5:3]
Al-Hâfizh
Ibnu Katsîr rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini merupakan nikmat
AllahSubhanahu wa Ta'alal terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala
Allah Azza wa Jalla menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak
memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla
menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh
manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan,
tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali
yang disyari’atkannya. Semua yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak
ada kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali. Sebagaimana firman
Allah Azza wa Jalla :
وَتَـمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا
وَّعَدْلاًً “
Dan
telah sempurna kalimat Rabb-mu (Al-Qur-an), (sebagai kalimat) yang benar dan
adil ...” [al-An’âm/6:115]
Maksudnya,
benar dalam kabar yang disampaikan dan adil dalam seluruh perintah dan
larangan. Setelah agama disempurnakan bagi mereka, maka sempurnalah nikmat yang
diberikan kepada mereka.
Maka
ridhailah Islam untuk diri kalian, karena ia agama yang dicintai dan diridhai
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karenanya Allah Azza wa Jalla mengutus Rasul
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling utama dan menurunkan Kitab yang
paling mulia (Al-Qur`an).
Mengenai
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (al-Mâ-idah/5:3), ‘Ali bin Abi Thalhah
berkata, dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu 'anhuma, “Maksudnya adalah Islam. Allah
Azza wa Jalla telah mengabarkan kepada Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam
dan kaum Mukminin bahwa Dia telah menyempurnakan keimanan untuk mereka,
sehingga mereka tidak membutuhkan penambahan sama sekali. Dan Allah Azza wa
Jalla telah menyempurnakan Islam sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan pernah
menguranginya, bahkan telah meridhainya sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan
memurkainya selamanya.”[7]
Orang
yang melaksanakan Sunnah-Sunnah dan meninggalkan bid’ah-bid’ah -termasuk bid’ah
Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam- maka mereka menjadi asing di
masyarakat, pendukung perayaan ini. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah menjelaskan dengan sangat jelas. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak membiarkan satu jalan pun yang dapat menghantarkan ke Surga dan
menjauhkan dari Neraka melainkan telah beliau jelaskan kepada umatnya. Kalau
peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu termasuk ajaran agama
yang diridhai Allah Azza wa Jalla, tentu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah menjelaskannya atau melakukannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda :
مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا
كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ
لَـهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ
"Tidaklah
Allah Azza wa Jalla mengutus seorang Nabi, kecuali wajib baginya untuk
menunjukkan kebaikan yang diketahuinya kepada ummatnya dan memperingatkan
mereka terhadap keburukan yang diketahuinya kepada mereka." [8]
Kelima:
Dengan mengadakan bid’ah-bid’ah semacam itu, timbul kesan bahwa Allah Azza wa
Jalla belum menyempurnakan agama ini, sehingga perlu dibuat ibadah lain untuk
menyempurnakannya. Juga menimbulkan kesan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam belum tuntas menyampaikan agama ini kepada umatnya sehingga kalangan
ahli bid’ah merasa perlu menciptakan hal baru dalam agama ini. Padahal Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi hamba-hamba-Nya.
Keenam:
Dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah, semua bid’ah adalah sesat sebagaimana
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ
ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
"Setiap
bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka" [9]
Imam
asy-Syâfi’i rahimahullah berkata.
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
"Barangsiapa
menganggap baik sesuatu (ibadah) maka ia telah membuat satu syari’at" [10]
Diantara
kaidah ahli ilmu yang telah ma’ruf ialah bahwa “Perbuatan baik ialah yang dipandang
baik oleh syari’at dan perbuatan buruk ialah apa yang dipandang buruk oleh
syari’at.”[11]
Syaikh
Hâfizh bin Ahmad bin ‘Ali al-Hakami rahimahullah (wafat th. 1377 H) berkata,
“Kemudian ketahuilah bahwa semua bid’ah itu tertolak tidak ada sedikitpun yang
diterima; Semuanya jelek tidak ada kebaikan padanya; semuanya sesat tidak ada
petunjuk sedikitpun di dalamnya; Semuanya adalah dosa tidak berpahala; Semuanya
batil tidak ada kebenaran di dalamnya. Dan makna bid’ah ialah syari’at yang
tidak diizinkan Allah Azza wa Jalla dan tidak termasuk urusan (agama) Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.”[12]
Para
ulama Islam dan para peneliti kaum Muslimin secara terus-menerus mengingkari
budaya perayaan maulid tersebut dan mengingkarinya demi mengamalkan nash-nash
dari Kitabullah dan Sunnah Rasul yang memang memperingatkan bahaya bid’ah dalam
Islam, memerintahkan agar mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
serta memperingatkan juga agar tidak menyelisihi beliau dalam ucapan, perbuatan,
dan amalan.
Ketujuh:
Memperingati kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membuktikan
kecintaan terhadap Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena kecintaan itu
hanya dapat dibuktikan dengan mengikuti beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam,
mengamalkan Sunnah beliau, dan mentaati beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
Allah
Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ
اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah
(Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku,
niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah
Azza wa jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Ali Imrân/3:31]
al-Hâfizh
Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum
atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapi tidak
berada di atas jalan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia dusta
dalam pengakuannya mencintai Allah Azza wa Jalla sampai ia mengikuti syari’at
dan agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam setiap
perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Disebutkan dalam kitab ash-Shahîh,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa
mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut
tertolak.”[13]
Oleh
karena itu, maksud firman Allah Azza wa Jalla yang maknya : “Katakanlah
(Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku.
Niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihimu” adalah kalian akan mendapatkan sesuatu
yang melebihi kecintaan kalian kepada-Nya, yaitu kecintaan-Nya kepada kalian.
Ini lebih besar daripada kecintaan kalian kepada-Nya. Seperti yang dikatakan
ulama ahli hikmah, “Yang jadi ukuran bukanlah jika engkau mencintai, tetapi
yang jadi ukuran adalah jika engkau dicintai.” al-Hasan al-Bashri rahimahullah
berkata, “Ada suatu kaum yang mengaku mencintai Allah Azza wa Jalla, lalu Allah
Azza wa Jalla menguji mereka melalui ayat ini ...”
Kemudian
firman Allah Azza wa Jalla yang maknanya, “Dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan
Allah Azza wa Jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Maksudnya adalah dengan
mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kalian akan memperoleh
pengampunan, berkat keberkahan utusan-Nya.”
Kedelapan:
Memperingati Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjadikannya
sebagai perayaan berarti menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani dalam hari
raya mereka, padahal kita telah dilarang untuk menyerupai mereka dan mengikuti
gaya hidup mereka. [15]
Kesembilan:
Orang yang berakal tidak mudah terperdaya dengan banyaknya orang yang
memperingati maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena tolok ukur
kebenaran itu bukan jumlah orang yang mengamalkannya, namun berdasarkan
al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Salafush Shâlih.
Kesepuluh:
Berdasarkan kaidah syariat yaitu mengembalikan perkara yang diperselisihkan
kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
"
… Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah
k dan hari Kemudian" [an-Nisâ'/ 4:59]
Demikian
juga dengan firman-Nya:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ
شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
"Tentang
sesuatu apa pun yang kamu berselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada
Allah Azza wa Jalla.” [asy-Syûra/42: 10]
Orang
yang mengembalikan persoalan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini
kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dia akan mendapati bahwa Allah Azza
wa Jalla memerintahkan manusia agar mengikuti Nabi-Nya. Dan Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan ataupun memperingati kelahiran
beliau dan beliau sendiri, juga para sahabat beliau. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah berasal
dari Islam, tetapi merupakan perbuatan bid’ah.
Kesebelas:
Yang disyariatkan bagi seorang Muslim pada hari Senin adalah berpuasa, bila ia
mau. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa
pada hari Senin, beliau bersabda, “Itu adalah hari kelahirkanku, hari aku
diutus sebagai nabi, serta hari aku diberikan wahyu.” [16]
Yang
disyariatkan adalah meneladani beliau, yaitu berpuasa pada hari Senin, bukan
merayakan hari kelahiran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kedua
belas: Perayaan hari kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan
perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan/melampaui batas) terhadap beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam, padahal Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang berbuat ghuluw.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي
الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.
"Jauhkanlah
diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya
sikap ghuluw dalam agama ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”
[17]
Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari ssanjungan
yang Allah berikan dan ridhai. Tetapi banyak orang melanggar larangan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, sampai-sampai ada yang berdo’a dan
meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya
sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Sebagian dari
perbuatan-perbuatan ini dilakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam.
‘Abdullah
bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu 'anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama
delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (tuan/penguasa) kami!”
Spontan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ
وَتَعَالَى.
“Sayyid
(tuan/penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”
Lalu
kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung
kebaikannya.” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan :
قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ
قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.
"Katakanlah
sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian
ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan" [18]
.
Kebanyakan qashidah dan puji-pujian yang dinyanyikan oleh yang melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu tidak lepas sikap berlebih-lebihan dan kultus individu terhadap Rasulullah bahkan terkadang mengandung ucapan-ucapan syirik. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
.
Kebanyakan qashidah dan puji-pujian yang dinyanyikan oleh yang melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu tidak lepas sikap berlebih-lebihan dan kultus individu terhadap Rasulullah bahkan terkadang mengandung ucapan-ucapan syirik. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا تُطْرُوْنِـيْ كَمَـا أَطْرَتِ
النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَـا أَنَا عَبْدُهُ ، فَقُوْلُوْا : عَبْدُ
اللهِ وَ رَسُوْلُهُ.
"Janganlah
kalian mengkultuskan diriku sebagaimana orang-orang Nashrani mengkultuskan Isa
bin Maryam. Sesungguhnya aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka
katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya" [19]
.
Maksudnya, janganlah kalian memujiku dengan cara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissalam. Sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku. Katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”[20]
.
Maksudnya, janganlah kalian memujiku dengan cara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissalam. Sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku. Katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”[20]
Ketiga
belas: Berbagai perbuatan syirik, bid’ah, dan haram yang terjadi dalam
peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
Dalam
perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sering terjadi hal-hal yang
diharamkan, seperti kesyirikan, bid’ah, bercampur baurnya kaum laki-laki dan
wanita, menggunakan nyanyian dan alat musik, rokok, dan lainnya. Bahkan sering
terjadi perbuatan syirik Akbar (besar), seperti istigâtsah kepada Rasulullah n
atau para wali, penghinaan terhadap Kitabullah, di antaranya dengan merokok
pada saat majelis Al-Qur’an, sehingga terjadilah kemubadziran dan
membuang-buang harta. Sering juga diadakan dzikir-dzikir yang menyimpang di
masjid-masjid pada acara Maulid Nabi tersebut dengan suara keras diiringi tepuk
tangan yang tak kalah kerasnya dari pemimpin dzikirnya. Semuanya itu adalah
perbuatan yang tidak disyariatkan berdasarkan kesepakatan para ulama yang
berpegang teguh kepada kebenaran.[21]
Keempat
belas: Dalam peringatan maulid terdapat keyakinan batil bahwa ruh Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam menghadiri acara-cara maulid yang mereka adakan.
Dengan
alasan itu mereka berdiri dengan mengucapkan selamat dan menyambut kedatangan beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Itu jelas perbuatan paling bathil dan paling
buruk sekali. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan keluar
dari kubur beliau sebelum hari kiamat dan tidak akan berhubungan dengan
seseorang (dalam keadaan sadar), tidak pula hadir dalam pertemuan-pertemuan
mereka. Beliau akan tetap berada dalam kubur beliau hingga hari Kiamat. Ruh
beliau berada di ‘Illiyyin yang tertinggi di sisi Rabb beliau dalam Dârul
Karâmah.[22]
Allah
Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan
mati dan mereka akan mati (pula).” (Qs az-Zumar/39:30). Dan dalam ayat yang
lain, Allah k berfirman yang maknanya, “Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya
kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan
dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.” [al-Mukminûn/23: 15-16].
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ
وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ
"Aku
adalah penghulu manusia di hari Kiamat nanti dan orang yang pertama kali keluar
dari alam kubur, serta orang yang pertama kali memberi syafa’at dan yang
menyampaikan syafa’at"[23]
Ayat
dan hadits di atas serta berbagai ayat dan hadits senada lainnya menunjukkan
bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang sudah mati
lainnya akan keluar dari kubur mereka pada hari Kiamat nanti. al-Allâmah Abdul
Aziz bin Abdullâh bin Bâz rahimahullah menyatakan, “Ini adalah pendapat yang
sudah disepakati oleh para ulama kaum Muslimin, tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan mereka.” [24]
Sebagai
tambahan, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mau dihormati dengan berdiri. Lalu bagaimana
bisa mereka menghormati beliau n dengan cara berdiri setelah beliau wafat.
C.
HAKIKAT MENCINTAI RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Orang yang benar-benar mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:
Orang yang benar-benar mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:
1.
Mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mentauhidkan Allah Azza wa Jalla,
menjauhi syirik, mengerjakan Sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beradab dengan adabnya.
2.
Lebih mendahulukan perintah dan syari’at Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam daripada hawa nafsu dan keinginan dirinya.
3.
Banyak bershalawat untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sesuai dengan
Sunnahnya. Allah Azza wa Jalla berfirman.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ
يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk
Nabi k dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya"
[al-Ahzâb/33:56]
4. Mencintai orang yang dicintai Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik keluarga maupun Shahabatnya yang Muhajirin
dan Anshar serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, dan membenci orang yang membencinya.
5.
Mencintai al-Qur’ân yang diturunkan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam, mencintai Sunnahnya, dan mengetahui batas-batasnya.[25]
D.
FATWA PARA ULAMA TENTANG BID’AHNYA PERAYAAN MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA
SALLAM
Berikut ini adalah beberapa fatwa para ulama yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah dhalâlah.
Berikut ini adalah beberapa fatwa para ulama yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah dhalâlah.
1.
Al-‘Allâmah asy-Syaikh Tâjuddin al-Fakihani rahimahullah (wafat th. 734 H)
berkata :
“Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari al-Qur-an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu...”[26]
“Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari al-Qur-an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu...”[26]
2.
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan ‘îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.”[27]
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan ‘îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.”[27]
3.
al-‘Allâmah Ibnul Hajj rahimahullah (wafat th. 737) menjelaskan tentang
peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
“...Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.”[28]
“...Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.”[28]
4.
Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh berkata:
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka...”[29]
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka...”[29]
5.
Syaikh Hamûd bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri rahimahullah berkata:
“...Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya.
“...Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya.
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ
عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“...Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat
cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” [an-Nûr/24:63]
Jika
dalam acara maulid yang diada-adakan ini ada sedikit saja kebaikan maka para
Shahabat telah bergegas melakukannya...”[30]
6.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Pertama: bahwa malam kelahiran Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.
“Pertama: bahwa malam kelahiran Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.
Kedua:
dari sudut pandang syari’at maka peringatan ini tidak memiliki dasar. Karena
jika ia termasuk syari’at Allah Subhanahu wa Ta'ala pasti Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam telah melakukannya atau menyampaikannya kepada umatnya.
Seandainya beliau telah melakukannya atau telah menyampaikannya maka hal itu
pasti terjaga karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami pula yang
memeliharanya.” [al-Hijr/15:9]
Karena
tidak ada sesuatu pun yang terjadi dari hal itu maka dapat diketahuilah bahwa
Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak termasuk agama Allah. Jika
tidak termasuk agama Allah maka kita tidak boleh beribadah dan mendekatkan diri
kepada Allah dengannya. Apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala telah meletakkan
jalan tertentu agar dapat sampai kepada-Nya yaitu apa yang dibawa Rasul
Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka bagaimana bisa kita selaku hamba Allah
diperbolehkan untuk membuat jalan sendiri yang mengantarkan kepada Allah ? Ini
merupakan kejahatan terhadap hak Allah Azza wa Jalla, yaitu mensyari’atkan
dalam agama Allah sesuatu yang bukan bagian darinya. Juga hal ini mengandung
pendustaan terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya : “…Pada
hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan
nikmat-Ku bagimu…” [al-Mâidah/5: 3]” [31]
7.
Syaikh Shâlih bin Fauzân bin ‘Abdullâh al-Fauzan hafizhahullâh berkata:
“Melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak dari para Khulafâ-ur Râsyidîn, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang maknanya : “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” [al-Hasyr/59:7]
“Melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak dari para Khulafâ-ur Râsyidîn, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang maknanya : “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” [al-Hasyr/59:7]
Maka
ketika mereka tidak melakukan peringatan maulid ini, dapat diketahuilah bahwa
perbuatan itu adalah bid’ah…
Kesimpulannya
bahwa menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
termasuk perbuatan bid’ah yang diharamkan yang tidak memiliki dalil baik dari
Kitabullâh maupun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam…”[32]
Demikian
uraian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Semoga shalawat
serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad n, juga kepada keluarganya, para
Shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari
Akhir. Dan akhir seruan kami ialah segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.
Marâji’
:
1. Tafsîr Ibni Katsîr, cet. Dâr Thayyibah.
2. Majmû Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
3. Iqtidhâ ash-Shirâtil Mustaqîm.
4. al-Madkhal, Imam Ibnul Hajj.
5. Siyar A’lâmin Nubalâ.
6. al-Bâ’its ‘ala Inkâril Bida’ wal Hawâdits.
7. Ma’ârijul Qabûl, Syaikh Hafizh al-Hakami.
8. al-Bida’ fii Madhâril ‘Ibtida’, Syaikh ‘Ali Mahfuzh.
9. Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bil Maulidin Nabawi.
10. Nûrus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah, Syaikh Sa’id al-Qahthani.
11. Tanbîhu Ulil Abshâr, Syaikh Shâlih as-Suhaimi.
12. ‘Ilmu Ushûl Bida’, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
13. al-Bida’ al-Hauliyyah.
14. Majmû Fatâwâ Syaikh ‘Utsaimin.
15. al-Muntaqa min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân.
16. Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ-imah.
Dan kitab-kitab lainnya.
1. Tafsîr Ibni Katsîr, cet. Dâr Thayyibah.
2. Majmû Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
3. Iqtidhâ ash-Shirâtil Mustaqîm.
4. al-Madkhal, Imam Ibnul Hajj.
5. Siyar A’lâmin Nubalâ.
6. al-Bâ’its ‘ala Inkâril Bida’ wal Hawâdits.
7. Ma’ârijul Qabûl, Syaikh Hafizh al-Hakami.
8. al-Bida’ fii Madhâril ‘Ibtida’, Syaikh ‘Ali Mahfuzh.
9. Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bil Maulidin Nabawi.
10. Nûrus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah, Syaikh Sa’id al-Qahthani.
11. Tanbîhu Ulil Abshâr, Syaikh Shâlih as-Suhaimi.
12. ‘Ilmu Ushûl Bida’, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
13. al-Bida’ al-Hauliyyah.
14. Majmû Fatâwâ Syaikh ‘Utsaimin.
15. al-Muntaqa min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân.
16. Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ-imah.
Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo
Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Komentar
Posting Komentar